• Jelajahi

    Copyright © KPK POST
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Yayasan

    Ucapan DPD

    Iklan

    Iklan

    Penolakan Laporan Ujaran Kebencian Akun "Fufufafa" oleh Polisi Menjadi Sorotan: Penerapan UU ITE Kembali Dipertanyakan**

    MAKHYAR DALIMUNTHE
    9 Oktober 2024, 01.46.00 WIB Last Updated 2024-10-09T08:46:22Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini

     


    **Jakarta, KPK POST 

    Hari Rabu, 09 Oktober 2024**

    Penolakan laporan yang diajukan oleh Edy Mulyadi terkait dugaan ujaran kebencian dan penistaan agama oleh akun media sosial "Fufufafa" kini menjadi sorotan publik. Edy, seorang jurnalis senior sekaligus pemilik kanal YouTube "Bang Edy Channel", melaporkan akun tersebut atas dugaan pelanggaran UU ITE. Namun, laporan ini ditolak oleh pihak kepolisian karena dianggap tidak memenuhi unsur-unsur pidana yang diatur dalam undang-undang.



    Laporan Edy Mulyadi berfokus pada konten-konten akun "Fufufafa" yang diduga menyebarkan ujaran kebencian dan menghina Presiden Joko Widodo terkait pembelian motor senilai Rp 140 juta. Edy menilai bahwa komentar-komentar tersebut melampaui batas kritik dan mengandung unsur penghinaan yang menyinggung simbol negara dan agama. Namun, setelah melalui pemeriksaan awal, pihak kepolisian menyatakan bahwa unsur-unsur yang dilaporkan tidak memenuhi kriteria tindak pidana sebagaimana diatur dalam **Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)**.


    Dalam pernyataannya, juru bicara kepolisian menjelaskan bahwa laporan tersebut telah dikaji secara mendalam sesuai prosedur hukum yang berlaku. “Kami telah menelaah laporan ini dan menemukan bahwa unsur pidana yang diadukan tidak terpenuhi, baik dalam hal ujaran kebencian maupun penistaan agama sebagaimana dimaksud dalam UU ITE. Karena itu, laporan tersebut tidak dapat kami tindaklanjuti lebih lanjut,” ujar juru bicara tersebut.


    Penolakan laporan ini langsung menuai reaksi dari publik, terutama di media sosial. Banyak warganet dan pengamat hukum yang mempertanyakan penerapan UU ITE dalam kasus ini. Sebagian masyarakat menilai bahwa polisi seharusnya lebih mendalami dugaan penghinaan tersebut, mengingat semakin banyak kasus ujaran kebencian di dunia maya yang belum ditangani dengan tuntas. "UU ITE itu ada untuk melindungi masyarakat dari hal-hal seperti ini. Kalau kasus seperti ini tidak diproses, bagaimana dengan kasus lain yang lebih parah?" ujar seorang pengguna media sosial yang menyoroti penolakan laporan tersebut.


    **Penerapan UU ITE yang Masih Abu-Abu**


    UU ITE, yang telah menjadi dasar hukum dalam banyak kasus yang melibatkan penghinaan dan ujaran kebencian di media sosial, kembali dipertanyakan. Beberapa ahli hukum menilai bahwa pasal-pasal dalam UU ITE, khususnya terkait ujaran kebencian dan penistaan agama, sering kali diterapkan secara berbeda-beda. Ada kekhawatiran bahwa hukum ini sering digunakan secara selektif, tergantung pada siapa yang dilaporkan.


    Pakar hukum digital, Dr. Budi Santoso, menilai bahwa kasus ini mencerminkan perlunya pembaruan dan penegasan dalam penerapan UU ITE. "Penolakan laporan seperti ini bisa menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat. UU ITE memang memberikan ruang untuk melaporkan kasus-kasus ujaran kebencian dan penistaan, tetapi interpretasinya sering kali tidak konsisten. Ini yang perlu diperbaiki agar masyarakat tidak ragu dalam menggunakan jalur hukum," jelas Dr. Budi.


    **Edy Mulyadi Kecewa dan Pertimbangkan Langkah Lanjut**


    Menanggapi penolakan laporan ini, Edy Mulyadi mengaku kecewa. “Saya sudah memberikan bukti-bukti yang jelas, baik berupa tangkapan layar maupun rekaman postingan akun tersebut, namun laporan saya ditolak dengan alasan yang tidak jelas. Ini sangat mengecewakan, mengingat kasus ujaran kebencian di media sosial semakin marak dan tidak ada tindakan tegas,” ujar Edy dalam keterangannya kepada media.


    Edy juga menambahkan bahwa ia sedang mempertimbangkan langkah hukum lebih lanjut, termasuk kemungkinan mengajukan laporan ulang atau meminta pendampingan hukum dari lembaga terkait. “Saya tidak akan tinggal diam. Ujaran kebencian dan penistaan agama tidak boleh dibiarkan begitu saja. Ini bukan hanya soal saya, tapi soal masyarakat luas yang bisa dirugikan dengan adanya konten-konten seperti ini,” tegasnya.


    Kasus ini juga memicu diskusi di kalangan aktivis hak digital dan kebebasan berpendapat. Mereka berharap penolakan laporan ini tidak menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di dunia maya. UU ITE, yang seharusnya melindungi masyarakat dari ancaman ujaran kebencian, harus ditegakkan dengan adil dan konsisten, tanpa pandang bulu.


    **UU ITE: Kontroversi yang Berkelanjutan**


    Sejak diberlakukannya pada tahun 2008, UU ITE telah menjadi salah satu regulasi yang paling banyak digunakan untuk menjerat pelaku ujaran kebencian, pencemaran nama baik, dan penistaan agama di ruang digital. Namun, penerapan undang-undang ini sering kali menimbulkan kontroversi, terutama terkait pasal-pasal yang dianggap multitafsir, seperti Pasal 27 tentang pencemaran nama baik dan Pasal 28 tentang ujaran kebencian berdasarkan SARA.


    Banyak pihak yang mendesak agar UU ITE direvisi agar lebih jelas dalam mengatur batas-batas kebebasan berpendapat dan memberikan perlindungan hukum yang lebih transparan. Pemerintah sendiri telah beberapa kali menyatakan kesiapannya untuk merevisi undang-undang ini, namun hingga saat ini belum ada perubahan signifikan yang diimplementasikan.


    Dengan penolakan laporan Edy Mulyadi, perdebatan mengenai keberadaan dan penerapan UU ITE tampaknya akan terus berlanjut. Masyarakat berharap agar keadilan dapat ditegakkan secara merata di dunia nyata maupun digital.

    Editor : {M. Dalimunthe, ST}

    Komentar

    Tampilkan

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Terkini